Sebagian cerita layak tak memiliki akhir. Bukan semata ingin membelot dari pakemnya. Tapi bukankah dunia memang tempat cerita-cerita berseliweran: saling berbalas, melengkapi, atau malah berbantahan? Maka, cerita paling realis baiknya tak memiliki akhir. Ia adalah refleksi dari dunia yang begitu riuh, tak beraturan – anarkis – dengan cerita.

Sejauh ini, Saman lah yang bisa mewakili persepsi saya tentang cerita yang ideal. Ayu Utami menyusun plotnya dengan kompleks, tak kalah dengan karakter yang ia ciptakan. Dua unsur itu saling berkelindan, dan berpusat pada Saman, seorang mantan pastur yang kemudian menjadi aktivis perkebunan. Tapi di luar cerita menarik Saman, ada banyak tokoh dengan kompleksitas jalan pikir dan masalahnya masing-masing. Mereka membagi ceritanya, saling berbalas, mengomentari dan berbantahan. Yang justru membuat ruang yang cukup bagi pembaca untuk menyelesaikan teka-teki cerita.

Sepintas saya takjub karena buku setipis ini, bicara begitu banyak hal: kekuasaan, perlawanan, hak asasi, agama, gender dan seks. Topik yang diusung pun seolah tak kadaluwarsa walaupun dibaca hampir dua dekade selanjutnya. Dan yang tak kalah membuat takjub, semua itu disampaikan tanpa abai dengan hal-hal teknis. Tanpa menggurui. Begitu rapi. Selalu ada kejutan sampai akhir.

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK