Kenangan selalu hadir saat tak diundang. Ketika lamun sedang khusyuk atau sepi sedang menusuk. Ia hadir tanpa mengetuk. Tahu-tahu bulir air mata siap jatuh dari pelupuk. 

Kapan tepatnya kenangan bisa merisak dengan kurang ajarnya? 

Ketika yang kau miliki direnggut, tanpa bisa dilawan. Pasrah, diam, mensyukuri apa yang telah (atau mengamini pahit yang sudah?) dalam potong-potong ingatan.

Itu pula yang dialami Mapata. Ketika penisnya ditindih kaki kursi, ingatan soal bapak tirinya hadir. 

Lalu, ketika sembilu siap melepas lidah Mapata antara tarikan pangkal kerongkongannya dengan jepitan tang. Ia terbayang Batari ━ istri yang ia coba cintai sepenuh hati.

Lidah Mapata, sumber kebahagiaan Batari. Ketika sembilu menjadikannya sekadar onggokan daging, bukan saja kebahagiaan istri dan dirinya yang hilang. Kekebalan Mapata pula. 

Tanpa lidahnya, ia tak bisa lagi merapal mantra. Ia tak lagi bisa tersenyum tiap kepalanya dihempaskan ke lantai, atau ketika tulang-tulang jarinya dipatahkan, atau juga ketika badannya diberondong peluru. Semua itu takkan lagi terasa seperti gigitan nyamuk, gelitikan, atau pijatan.

Baca juga: [Resensi] Yang Bertahan dan Binasa Perlahan, Okky Madasari

Kesombongannya hilang, begitupun ilmunya, bersama potongan lidah yang entah dibuang kemana. Fisiknya mulai habis dan siapapun tahu, tinggal menunggu waktu sampai mentalnya menemui akhir serupa.

Tak jelas apa salah Mapata. Dirinya disebut mengancam hidup berbangsa dan beragama. Bagaimana? Entah. Tapi dari sinilah cerita bergulir dan satu per satu pertanyaan terjawab.

***

a woman spaced out while hugging a book

Mari sepakat. Paragraf pertama adalah kunci sebuah cerita. Ia membuka gerbang dunia khayal dan memberi sekat pada dunia yang sedang berjalan. 

Maka untuk saya, sudah sepatutnya paragraf dibuka dengan sentakan. Karena dari situlah, saya menentukan: akankah buku dibaca menggebu, diselingi kegiatan ini-itu, atau membiarkannya jadi hiasan rak buku.

Sentakan itulah yang langsung dihadirkan Faisal Oddang. Lengkap dengan rasa takut, panik, ngilu, dan kelebat ingatan personal. Dari awal saja, saya sudah diajak berbagi pilu dan luka batin dengan tokoh utama.

Untungnya, adegan ini bukan cuma umpan. Bukan cara untuk menarik perhatian lalu ditinggal dengan potongan adegan yang tak langsung berhubungan.

Faisal Oddang menjadikan awalan ceritanya sebagai pondasi. Dari sanalah ia membangun keping demi keping adegan. Termasuk menentukan cara ia menceritakan tokoh dan membuat tokohnya bercerita. 

Baca juga: [Resensi] Lelaki Harimau – Eka Kurniawan

Tanpa lidah, hanya lewat tulisan lah Mapata menjawab berondongan pertanyan penculiknya. Lewat tulisan juga Oddang memamerkan kepiawaiannya menokohkan Mapata.

Ragam emosi Mapata nampak jelas dalam coretan kalimat. Ketika harga dirinya diinjak, ia justru banyak membubuhi suratnya dengan panggilan Tuan untuk si penculik. Kadang kalimatnya begitu panjang. Tanpa titik, tanpa koma, hanya berputar-putar. 

Mapata sedang menghina si penculik. Persetan yang dihina tahu atau tidak. Ia melakukannya untuk dirinya sendiri. Penting untuknya mengelus ego selagi masih ada. 

a woman reads a book

Mapata hanya diam, dia memang tak bisa melawan, tetapi meringis atau kesakitan atau menampakkan kekesalan adalah kalah tanpa bertaruh. Dan diam? Diam adalah satu-satunya cara untuk melawan….

halaman 35.

Di waktu diminta bercerita soal politik dan sejarah, tulisan Mapata berubah menjadi kaku dan serius. Lalu, melunak, hangat, dan luwes, ketika disuruh menceritakan masa lalunya. Termasuk kenangan bersama Batari dan anak perempuannya.

Di antara surat demi surat, isi pikiran Mapata yang berjejal. Kadang ia menceritakan apa yang dilihat, dirasa, dan dipikirkan. Kadang ia memutar ingatan yang sudah-sudah. Lain kali, ia dibantu narator untuk lebih jelas menerangkan apa yang tak bisa dijangkau Mapata.

Lapisan cerita membuat kisah Tiba Sebelum Berangkat tidak membosankan. Tetapi, tidak juga membingungkan.

Pergantian kisah dan cara bercerita membuat saya larut. Sampai-sampai, lupa kalau yang sedang saya baca adalah cerita dalam cerita. Mapata bercerita soal kisah orang lain. Tapi rasanya begitu nyata dan detail.

Baca juga: [Resensi] Ronggeng Dukuh Paruk – Ahmad Tohari

Lama saya berpikir. Coba mencari analogi yang tepat. Lalu saya sadar kalau lapisan cerita yang disusun Oddang mirip seperti kue klepon. 

Parutan kelapa, beras ketan, dan gula merah yang manis. Ketika dikunyah, lapisan kue memang lebur jadi satu. Tapi saya masih tahu: mana gurih parutan kelapa, lembutnya beras ketan, dan lelehan manis gula merah.

Beda halnya dengan penulis lain yang sembarang menumpuk-numpuk cerita seperti lapis legit. Memang berlapis, tapi saya tak betul-betul tahu apa yang membedakan lapisan satu dengan yang lain.

Detail cerita yang Faisal Oddang perhatikan betul, membuat kisah Tiba Sebelum Berangkat menjadi begitu kuat.

***

flat lay photography of a book, a pair of glasses, and a bookmark

Tiba Sebelum Berangkat adalah lakon yang intens. Dan kalau boleh jujur, bagian-bagian awal memang sangat menyiksa buat saya. 

Meski tergolong novel tipis, butuh sebulan lebih untuk menyelesaikannya. Bukan karena tak cukup bagus. Malah, kemampuan novel ini menguras emosi lah yang membuat saya begitu.

Serasa masuk dalam cerita. Saya menyaksikan segala detail peristiwa dan mendengarkan keluhan tokoh utama. Tanpa bisa urun suara. Barangkali perasaan dibungkam itulah yang benar-benar dibagi Mapata pada pembaca.

Untungnya, itu semua tak bertahan lama. Kalau kamu cukup kuat bertahan, kamu akan berterima kasih pada penulis yang baik hati membagikan kisah kasmaran Mapata dan Batari.

Saya masih ingat respons heboh saya ketika membaca bagian-bagian itu. Rasanya gemas karena Mapata tak peka (atau pura-pura bodoh?) dan Batari yang kelewat agresif.

Bagi saya, kisah ini jadi sebuah pengingat: berapa pun umur kita, kita selalu dihadapkan hal baru ketika menjalin hubungan asmara. Tak ada rumus, tak ada patokan. Dan sering kali, kebahagiaan pasangan tak melulu turut standar umumnya. Begitu pun yang dipercayai Mapata dan Batari.

Baca juga: [Resensi] Entrok, Okky Madasari

Setelah kisah cinta, kamu akan lagi temukan lapisan-lapisan cerita lainnya. Ada cerita masa kecil Mapata, cerita ia mengabdi menjadi toboto untuk seorang bissu, penjelasan soal konsep lima gender di Bugis, sejarah dan intrik politik, juga cerita muram lain.

Di antara semua lapisan cerita itu, ada satu adegan yang sangat membekas. Entah mengapa mengingatkan saya pada Hunger karya Knut Hamsun dan Vegetarian-nya Han Kang. Sesuatu yang tak pernah bisa Anda bayangkan sebelumnya.

Namun, sama dengan Hunger atau Vegetarian, usai adegan itulah Anda bisa temui titik terang. Siapa yang menculik Mapata? Mengapa ia diculik? Bagaimana kelanjutan kisahnya dengan Batari?

“Saya belajar banyak hal dari kehilangan. Salah satunya, kini saya mengerti bahwa satu per satu dari kita akan hilang perlahan, dan satu-satunya yang bisa kita jadikan alasan untuk kuat menghadapinya hanya satu kenyataan bahwa kita memang tidak pernah memiliki apa-apa –bahkan ketika bercermin, seorang di dalam cermin itu juga bukan milik kita.”

halaman 77.
  • Nilai: 5/5
  • Judul: Tiba Sebelum Berangkat
  • Penulis: Faisal Oddang
  • Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
  • ISBN: 9786024243517
  • Cetakan: Pertama, April 2018
  • Jumlah halaman: vi + 216 halaman

You may also like

5 Comments

  1. Genre novelnya apa ya kak? Misteri kah? Jadi kepingin baca abis baca review disinii

    1. Hmmm. Nggak jelas sih genre-nya apa. Kalau di keterangannya sih tulisannya “sastra” gitu. Kayanya lintas genre kali ya 😛

  2. Wow nilainya 5/5. Walau kyknya ngilu kyknya tetep menarik utk dibaca ya.

    1. Yaps. Apalagi yang nulis masih bisa dibilang sastrawan muda. Wajah baru yang menarik buat diikuti karyanya.

  3. Uwaaa, reviewnya bikin jadi pengen baca. auto masuk whishlist!

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK