Srintil sudah membuktikan dirinya lahir untuk menjadi ronggeng Dukuh Paruk. Dan meskipun dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikatkan dengan seorang lelaki, namun ternyata Srintil tak bisa melupakan Rasus. Ketika Rasus menghilang dari Dukuh Paruk, jiwa Srintil terkoyak. Srintil tidak bisa menerima keadaan ini, dan berontak dengan caranya sendiri. Sikap ini menjadi faktor penentu dalam pertumbuhan kepribadiannya. Dia tegar dan berani melangkahi ketentuan-ketentuan yang telah lama mengakar dalam dunia peronggengan, terutama dalam masalah hubungan antara seorang ronggeng dan dukunnya.

Menjelang usia dua puluh kedirian Srintil mulai teguh. Dia bermartabat, tidak lapar seperti kebanyakan orang Dukuh Paruk, dan menampik laki-laki yang tidak disukainya. Rasus sendiri ditundukannya dalam dunia angan-angan dan Srintil merasa menang. Sementara dua pengalaman penting menggores lintasan kehidupannya. Pertama, ketika dia harus menjalankan peran sebagai gowok. Kedua, ketika pada akhir potongan lintasan hidupnya secara tidak bisa dimengerti oleh Srintil sendiri, ronggeng itu terlibat dalam kekalutan politik pada masa 1965. Srintil yang bermartabat, cantik, dan masih sangat belia harus berhadapan degan ketentuan sejarah yang sekali pun tidak pernah dibayangkannya.

**

Nrimo ing pandum atau menerima suratan takdir adalah prinsip hidup orang Dukuh Paruk. Maka tak ada alasan bagi Srintil untuk mengelak ketika ia dinobatkan sebagai ronggeng di usia awal belasan. Bagi Srintil, menjadi ronggeng berarti ia bisa menari dan menyanyi sepuasnya; bersolek; dan dipuja semua orang. Walaupun dengan demikian,
ia harus menjual keperawanannya pada lelaki yang tak kenal. Pun setelahnya, ia resmi menjadi perempuan milik semua laki-laki.

Namun, ternyata Srintil tak benar-benar ingin dimiliki semua orang. Ia hanya ingin dimiliki seorang saja, dan orang itu adalah Rasus. Keinginannya itu semakin kuat ketika ia selalu merasa kosong ketika Rasus pergi. Walaupun, Rasus kerap pergi dan kembali sesuka hati.

Di sisi lain, Rasus tak pernah benar-benar ‘sesuka hati’ soal Dukuh Paruk. Ia meninggalkan kampungnya yang kecil, miskin dan bodoh itu karena ia tak kuat hati melihat Srintil dijamah banyak lelaki. Walaupun ia sempat kembali ke kampungnya demi Srintil, akan tetapi tak lama ia pergi dengan alasan yang sama. Termasuk ketika ia pergi dari Dukuh Paruk untuk bergabung dengan korps tentara. Semua dilakukannya demi mengikis bayangan wajah bahagia Srintil saat meronggeng. Hal yang membuat hati Rasus tersayat, dan kehilangan bayangan sempurna
emaknya di diri Srintil.

Karena diniatkan sebagai sebuah catatan, Ronggeng Dukuh Paruk justru menjadi karya yang hebat. Ahmad Tohari berhasil menghadirkan Dukuh Paruk, orang-orangnya, alam hingga masalahnya lewat gambaran yang sederhana dan apa adanya. Bahkan ketika semua itu lebih banyak disampaikannya lewat narator. Sebuah teknik penceritaan yang tidak semua penulis kuasai untuk meyakinkan pembaca bahwa cerita yang dibawakan itu nyata.

Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal.

“Cari sebatang
cungkil,” kata Rasus kepada dua temannya. “Tanpa cungkil mustahil kita dapat
mencabut singkong sialan ini.”

“Percuma. Hanya sebatang
linggis dapat menembus tanah sekeras ini,” ujar Warta. “Atau lebih baik kita
mencari air. Kita siram pangkal batang singkong kuang ajar ini. Pasti nanti
kita mudah mencabutnya.”

“Air?” ejek
Darsun, anak yang ketiga. “Di mana kau dapat menemukan air?”

“Sudah, sudah.
Kalian tolol,” ujar Rasus tak sabar. “Kita kencingi beramai-ramai pangkal
batang singkong kurang ajar ini. Kalau gagal juga, sungguh bajingan.”

Tiga kulup terarah
pada titik yang sama. Currr. Kemudian Rasus, Warta dan Darsun berpandangan.
Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka
mencoba mencbut batang singkong itu kembali. – Halaman 10-11.

Namun, kemahiran bercerita Ahmad Tohari tidak berhenti sebatas pada deskripsi semata. Ia juga berhasil memberikan nyawa pada setiap percakapan. Sehingga pembaca seolah berdiri bersama tokoh-tokoh dalam cerita,
menjadi saksi sejarah. Termasuk, ketika yang diceritakan ada sangkut pautnya dengan geger 1965.

“Siapakah yang
sampean maksud dengan rakyat korban kaum penindasan itu?”

“Nah! Misalnya
sampean sendiri bersama semua warga Dukuh Paruk ini. Darah kalian diisap habis
sehingga hanya tertinggal seperti apa yang kelihatan sekarang: kemelaratan!
Ditambah dengan kebodohan dan segala penyakit. Kalian mesti bangkit bersama kami,”

“Nanti dulu.
Menurut sampean kami adalah rakyat yang tertindas. Apa sampean tidak keliru?
Kami sama sekali tidak merasa tertindas. Apa sampean tidak keliru? Kami sama
sekali tidak merasa tertindas, sungguh! Sejak zaman dulu kami hidup tenteram di
sini.”

“Itulah. Sampean
tidak mengerti bagaimana cara mereka melakukan penindasan terhadap rakyat.
Sejak zaman nenek moyang sampean, kaum penindas itu telah melakukan
kejahatannya. Cara mereka telah menyejarah. Lihatlah akibat kejahatan mereka di
sini. Semua orang kurang makan! Semua orang bodoh dan sakit. Anak-anak cacingan
dan kudisan. Anak-anak kalian di sini sungguh-sungguh hidup tanpa harapan.”

“Yang sampean
maksud dengan kaum penindas?”

“Kaum imperialis,
kapitalis, kolonialis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!”

“Wah kami bingung,
Mas. Kami tak pernah mengenal mereka. Cerita sampean kedengaran lucu. Pokoknya
begini, Mas. Sejak dulu beginilah yang bernama Dukuh Paruk. Kami senang hidup
di sini karena ituah kepastian yang kami terima. Kami tak pernah percaya ada sesuatu
yang lebih baik daripada kepastian itu. Dan kekeliruan besar bila sampean
berharap akan mendengar keluhan kami. Boleh jadi benar kami bodoh, miskin dan
sakit. Tetapi itulah milik kami pribadi. Sampean tak usah pusing memikirkannya.
Lucu, kan? Kami sendiri merasa biasa-biasa saja, kenapa orang lain mesti
repot?”

“Sampean yang lucu
karena tidak tahu dan tidak mau tahu akan sejarah!”

“Wah sekarang
sejarah. Apa pula itu, Mas?”

“Sejarah itu
sesuatu yang perkasa. Kalian tidak bisa menolak apalagi melawannya. Dan sampean
akan digilasnya bila tetap diam dalam ketololan. Tunggu saja!”

“Yang paling
perkasa itu yang murbeng dumadi, Mas.
Yang telah menentukan kami hidup di Dukuh Paruk ini, yang telah memastikan
hidup kami seperti ini.” – Halaman 183-184.

Ronggeng Dukuh Paruk: Tragedi dalam Tragedi

Kisah menyoal tragedi 1965 sudah tak terbilang jumlahnya. Akan
tetapi, bagi saya buku inilah yang secara sempurna memotret tragedi 1965.
Justru karena ia fokus pada tragedi di kampung kecil, yang terjadi karena
tragedi yang lebih besar di tempat lain. Potret tersebut penting bagi saya yang
lahir puluhan tahun setelah geger 1965. Karena dengan demikian, kengerian dan
kekalutan sejarah yang diceritakan membekas, dan menjadi pelajaran. Bukan
sekedar sebagai teks sejarah yang dihapal, atau dirapal layaknya dongeng yang
entah benar atau sekedar karangan.

Sekilas, kisah kasih antara Srintil-Rasus mirip dengan Atik-Teto
dalam Burung-Burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya. Kisah seorang lelaki yang
meninggalkan perempuan yang dicintai, demi mengabdi pada seragamnya. Kemiripan
ini bisa dibaca sebagai sebuah fenomena yang barangkali sering terjadi di masa
silam. Bahwa kisah kasih di masa itu seringkali terhalang oleh kepentingan
politik. Dan justru berangkat dari kisah cinta berlatar tragedi sosial, pesan
yang dipetik begitu personal.

Hanya saja, pesan itu tak mulu-mulu soal: ‘cinta itu butuh
pengorbanan’ atau ‘cepatlah sebelum terlambat’. Dan pada titik inilah, Ahmad
Tohari berhasil membedakan dirinya dari penulis-penulis lain, termasuk Y.B
Mangunwijaya dengan Burung-Burung Manyar-nya.

Ronggeng Dukuh Paruk tidak hanya bicara soal cinta sejati
dua manusia yang terpisah keadaan. Akan tetapi, ia juga berpetuah soal
kemanusiaan. Hal yang sejatinya menjadi esensi dari cinta itu sendiri.

Dan apabila ikatan kebersamaan
yang berakar pada cita dasar kemanusiaan sudah dianggap melangit sehingga hanya
bagian idealisme kaum moralis, maka kadang Rasus bertanya di manakah ikatan
kebersamaan yang lebih membumi, seperti ikatan kekeluargaan, kesukuan, dan
kebangsaan. – Halaman 270.

Mengapa orang terlanjur percaya
bahwa pembunuhan ialah menghentikan fungsi ragawi sebagian atau keseluruhan
dengan satu dan lain senjata. Mengapa orang terlanjur beranggapan kekejaman
ialah tumpahnya darah dan lukanya bagian raga. – Halaman 383

Sekilas petuah-petuah yang bertebaran di buku ini memang sulit untuk dimengerti dalam sekali baca. Tetapi justru itulah yang membuat saya kagum. Pesan-pesan yang dipetuahkan begitu kuat dan menuntut pembaca untuk
berefleksi dan lebih banyak membaca.

Bagi saya, buku ini sangat kompleks untuk diulas. Apalagi hanya dalam beberapa ratus kata saja. Buku ini berhasil menyuguhkan begitu banyak aspek kehidupan, mulai dari cinta, rasa kemanusiaan, potret kemlaratan,
kekuasaan bahkan pemaknaan atas hidup itu sendiri.

Nilai: 4/5

Judul: Ronggeng Dukuh Paruk

Penulis: Ahmad Tohari          

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 978-979-22-0196-3

Cetakan: kesepuluh, Maret 2015

Jumlah halaman: 406

Harga: Rp 71.000 (Toko Buku Gramedia)

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK