BOOK

Animal Farm: Sindiran Kebinatangan Manusia

Kemerdekaan, walau bagaimana pun tidak pernah gratis. Hal yang mungkin sulit dipahami oleh mereka yang lahir dengannya.

Kemerdekaan selalu muncul dari ketidakadilan. Ia merupakan cita-cita dari sebuah antagonisme nilai. Antara baik dan yang jahat, begitu lebih mudahnya. Juga merupakan jawaban dari pertanyaan terhadap penderitaan manusia.
Posisinya yang diagung-agungkan, tentu tidak begitu saja muncul. Kemerdekaan adalah puncak tertinggi yang disokong oleh pengorbanan harta, jiwa, dan nyawa semua orang yang memperjuangkannya.

Potret kemerdekaan itulah yang berusaha diangkat George Orwell dalam Animal Farm. Novel ini merupakan alegori dari kehidupan manusia yang mencari kebebasan dan kemandirian. Diawali dengan mimpi aneh Major, si babi tua bijaksana yang diumumkan suatu malam di lumbung. Mimpi yang mendapatkan perhatian oleh seluruh penghuni peternakan, karena menginspirasi mereka untuk melawan manusia yang menyengsarakan mereka. Tiga bulan kemudian, Major mati. Namun, mimpinya masih membekas di benak binatang-binatang peternakan. Rencana memberontak pun dimatangkan, dan secara tidak sengaja pemberontakan dijalankan. Setelah seekor sapi mendobrak lumbung diikuti binatang-binatang lain untuk mengambil jatah makan yang belum diberikan. Mereka mengejar pemilik peternakan, dan membuatnya lari tunggang langgang.

Mulai saat itulah, para binatang menguasai peternakan. Mereka mengubah nama peternakan itu dari Peternakan Manor menjadi Peternakan Binatang. Dari sana, mereka menciptakan segala pembagian tugas. Dengan babi, sebagai aktor utamanya.

Animal Farm bisa dibilang sebagai penceritaan ulang siklus Polybius[1] dengan cara yang jenaka. Penceritaan ulang memang mengakibatkan alur cerita menjadi lebih mudah ditebak, tetapi untungnya tidak mengurangi kenikmatan membaca. Sebagai gantinya, Orwell mengajak pembaca untuk berkaca dan menertawai kehidupan sosial politik masyarakat melalui sudut pandang binatang.

“Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah untuk menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat untuk menangkap terwelu. Namun, ia adalah penguasa atas semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri. Tenaga kami untuk membajak tanah, kotoran kami untuk menyuburkan tanah, tetapi tak satu pun dari kami memiliki tanah seluas kulit kami” (Halaman 6)

Di situ Orwell seperti berusaha menyentil pembaca. Ketidakadilan yang manusia lakukan terhadap binatang bahkan tidak pernah terlintas sebagai ketidakadilan. Dan mungkin pembaca akan tertawa ketika menemui paragraf di atas. Namun, begitu juga dengan ketidakadilan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya. Manusia sering kali tak sadar telah berlaku tak adil pada sesamanya. Ketidakadilan itu mereka tuduhkan sebagai akibat dari malas, kurang giat bekerja atau dengan sederhana sebagai akibat dari ketidakberuntungan.

Di sisi lain, Orwell juga menyindir bagaimana manusia menanggapi ketidakadilan yang terjadi, malalui:

“Tidakkah ini satu penjelasan yang terang benderang, Kamerad, bahwa semua kejahatan dalam hidup kita muncul dari tirani Manusia? Cukup dengan menyingkirikan Manusia, dan hasil kerja kita akan menjadi milik kita. Hanya dalam waktu dua minggu, kita akan menjadi kaya dan bebas. Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kenapa, kerja siang dan malam, jiwa dan raga, untuk menumbangkan kekuasaan ras Manusia!….” (Halaman 8)

Sindiran Orwell bahkan masih sangat relevan untuk dibawa pada konteks kekinian. Bahwa ketika sumber masalah disingkirkan, lantas semua akan baik saja. Padahal realitasnya lebih sulit daripada itu.

Ketika Belanda diusir, muncul separatisme dari kelompok yang tidak diuntungkan. Ketika Orde Lama disingkirkan, muncul Orde Baru. Ketika Orde Baru dimusnahkan, permasalahan tidak berhenti begitu saja. Dan seterusnya. Keterjebakan manusia dalam konsep berpikir ‘menyingkirkan dan disingkirkan’ menjadi hal yang patut menjadi perenungan.

Pada bagian-bagian selanjutnya, Orwell masih akan mengajak pembaca berefleksi. Termasuk mengenai pemujaan berlebihan terhadap pemimpin, romantisme perjuangan kemerdekaan yang dilebih-lebihkan, nasionalisme yang dijadikan pembenaran kebijakan pemerintah hingga dilema untuk bekerjasama dengan musuh.

Animal Farm merupakan karya yang menarik. Ia merupakan wujud sindiran Orwell terhadap sisi kebinatangan manusia. Dengan membacanya, ada perasaan sedih dan prihatin. Bahwa setelah hampir 71 tahun, manusia hampir terjebak dalam siklus yang memuakkan.

Pada akhirnya, kemerdekaan selalu muncul dari ketidakadilan. Ia merupakan cita-cita dari sebuah antagonisme nilai, antara baik dan yang jahat. Walaupun kemudian, yang baik dan jahat tidak ada bedanya.

 

[1] Siklus Polybius adalah teori tentang perubahan bentuk negara. Dimulai dari monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi hingga ke okhlokrasi. Monarki adalah negara dikuasai oleh satu pemimpin yang memiliki kuasa karena kharisma atau darah keturunan. Tirani adalah bentuk negara di mana kolega pemimpin monarki (raja) mulai melakukan penindasan pada rakyat untuk kepentingannya. Aristokrasi adalah bentuk negara yang telah menghancurkan tirani. Ia merupakan bentuk kepemimpinan oleh beberapa orang yang memiliki pengetahuan. Selanjutnya, aristokrasi digantikan dengan oligarki. Di mana kepemimpinan dari beberapa orang tersebut, menggunakan kuasanya untuk kepentingan pribadi. Lalu oligarki dijatuhkan oleh demokrasi atau kepemimpinan didasarkn banyak orang. Titik ekstrim demokrasi adalah okhlokrasi yaitu kepemimpinan dari gerombolan. Pada kondisi ini, situasi menjadi kacau dan korupsi muncul di mana-mana. Siklus ini akan kembali ke monarki, setelah rakyat mendesak adanya kepemimpinan dari seorang untuk mengembalikan kondisi menjadi normal.

Nilai: 3/5
Judul : Animal Farm
Penulis : George Orwell
Penerjemah: Bakdi Soemanto
Penerbit: PT. Bentang Pustaka
ISBN: 978-602-291-070-1
Cetakan: Kedua, Juli 2015
Jumlah halaman: 140
Harga: Rp 34.000 (BentangPustaka.com)

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK