“Kalau sebagian dari diriku sudah menjauhi teman-temanku dulu karena tidak ada satu pun dari mereka yang sepaham denganku, aku masih coba untuk menemani diriku sendiri. Aku meminta diriku untuk mempercayai sesuatu. Diriku bilang segalanya palsu – bahkan sahabat, bahkan kekasih, bahkan keluarga. Lantas, apa aku masih bisa mempercayai sesuatu? Apa diriku bisa mempercayainya – atau aku hanya akan terus gagal meyakinkan diriku sendiri bahwa ada aku yang bisa dipercayai sepenuhnya oleh diriku?

Aku bisa berbicara dengan orang lain. Namun aku bahkan tidak mampu berbicara dengan diriku sendiri. Diriku yang begitu kaku, bersembunyi di pojok, dan tidak pernah mau mendengarkan kata-kataku.

Aku tidak tahu sejak kapan diriku terbagi menjadi dua bagian. Atau mungkin lebih. Namun, aku sungguh membenci bagian dari diriku yang tidak pernah mau bersahabat denganku.

Sebagian dari diriku tidak memiliki seorang pun sahabat, menolak setiap yang datang dan mengsusir yang singgah.

Meski aku berpikir aku mampu bersahabat dengan diriku yang pemilih itu, tetapi tidak pernah bisa bagian dari diriku itu menyambut tali persahabatan yang kuulurkan. Padahal kami tinggal dalam satu tubuh, berbagi napas yang sama, tetapi separuh bagian diriku tidak pernah mampu menerima kehadiranku. Bahkan ketika aku menangis, sesuatu dalam diriku bekerja semakin keras untuk membuat tangisku tersampaikan semakin laung.” – halaman 214-215.

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK