Engkaulah keheningan yang hadir sebelum segala suara

Engkaulah lengang tempatku berpulang

Bunyimu adalah senyapmu

Tarianmu adalah gemingmu

Pada bisumu, bermuara segala jawaban

Dalam hadirmu, keabadian sayup mengecup

Saput batinku meluruh

Tatap sekilas dan sungguh

Bersama engkau, aku hanya kepala tanpa rencana

Telanjang tanpa kata-kata

Cuma kini

Tinggal sunyi

Dan, waktu perlahan mati

**

IEP adalah momentum bagi tokoh-tokoh di lima buku sebelumnya untuk bertemu. Menyatukan kepingan puzzle yang tercecer dari buku-buku sebelumnya. Gio mencari Diva, Dimas dan Rueben mencari misteri siapa di balik Supernova, Bodhi dan Elektra yang mencari Asko, Zarah yang pulang untuk Abah, dan Alfa yang mencari kawan-kawan lama yang ia ‘lupakan’.

Ada juga Guru Liong, Kell, Pak Kas, trio kwek-kwek yang kehadirannya menambahkan keunikan narasi ini. Kepiawaian Dee dalam mengurut satu fragmen ke fragmen yang lain, membuat saya hampir percaya kalau Dee menuliskan IEP berbarengan dengan lima karya sebelumnya. Tokoh-tokohnya konsisten, dan plotnya rapi. Itu yang terjadi di paruh pertama buku 700-an halaman ini.

Terlepas dari kepiawaian Dee meramu cerita dan menjahit plot, IEP “seperti mie rebus yang kelewat lama dimasak. Percintaan yang kelewat lama, keburu lelah sebelum orgasme.” Meminjam istilah Eka Kurniawan mengomentari 1Q84, Murakami: IEP agak mengecewakan dan melelahkan. Konflik-konflik minor sepanjang cerita membuat pembaca dag-dig-dug, tetapi begitu sampai konflik besar pembaca keburu lelah. Akhir yang bisa ditebak, agak hambar.

Ditambah, Dee rasanya agak terburu-buru untuk menyelesaikan cerita. Banyak hal yang tak terjelaskan dan justru menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Entah kalau memang disengaja, tetapi menurut saya tidak perlu sampai ada adegan yang percuma: rasa penasaran Bong yang menuntunnya pada Ishtar, lalu Re. Karenanya, IEP yang diawali dengan apik cenderung meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan.

Di sisi lain, bagi saya, IEP kurang mengeksplor sisi emosi tokoh, yang merupakan konsekuensi logis dari kemunculan begitu banyak tokoh dalam buku ini. Terutama menginjak tengah cerita. Tokoh-tokoh yang kuat di buku sebelumnya, seperti Ishtar, bertransisi menjadi tokoh yang sangat berbeda. Transisi mungkin bagian dari perkembangan karakter, hanya saja dengan eksekusi yang nanggung membuat saya gemas. Apalagi mengingat, transisi itu hanya dijelaskan tak lebih dari satu halaman.

Bagi Ishtar, perang ini bukan
perangnya lagi. Air matanya mengalir bersama derai hujan yang sudah tidak ia
lawan. Wujudnya berangsur menghilang. Halaman 647

Namun untungnya, Dee mampu mengontraskan satu tokoh dengan yang lain, sehingga tokoh masih terasa nyata. Sisi kocak Etra, Zarah yang serius dan kuat, Gio agak melankolis, Bodhi yang hato-hati dan Alfa yang ceplas-ceplos. Ditambah trio kwek-kwek yang punya karakter kontras: Liong yang sangat kaku dan serius, Kas sangat kental dengan dialek Jawa dan Kell si bule gila. Bagaimana Dee menghadirkan tokoh-tokoh dan menggambarkan relasinya satu dengan yang lain sampai di paruh awal buku, masih sangat diapresiasi.

Paradoks dalam Satu Tubuh

Terlepas dari sisi teknis yang agak mengecewakan, satu hal lagi yang perlu diapresiasi dari Dee adalah konsistensi topik yang ia angkat. Di catatan akhir buku ini, Dee melihat rangkaian Supernova sebagai pertanyaan dan jawaban atas eksistensi.

Bagi saya, ide menyoal eksistensi tersebut tercermin dari bagaimana Dee memilih tokoh-tokohnya. Mulai dari buku pertama hingga yang keenam, Dee selalu memberikan sisi-sisi unik yang mungkin luput dari pengamatan awam. Atau malah sisi-sisi yang dalam realitasnya ‘disembunyikan’ dan dianggap tidak wajar.

Ia berani menyenggol soal orientasi seksual, religiusitas, relasi anak dengan orang tua, pencarian jati diri, dan tentunya cinta. Inilah yang menjadikan karya-karya Dee serasa dekat dengan pembaca. Supernova bukan sebatas fiksi ilmiah, ia berusaha mengajak pembaca berefleksi dengan caranya sendiri.

Selain itu, upaya menyoal eksistensi juga dilakukan dengan konsisten bernarasi dengan paradoks. Contoh kecil adalah puisi yang dicuplik di awal tulisan ini: Bunyimu adalah senyapmu/ Tarianmu adalah gemingmu. Konsistensi yang saya maksud gamblang terlihat dalam IEP:

“Pembebas dan Penjaga berbagi
unsur yang serupa, tapi dengan kutub yang bertolak belakang. Bagi Penjaga, para
Pembebas tak lebih dari perusak. Infiltran, begitu akhirnya mereka dijuluki
karena strategi menyusup yang mereka terapkan. Bagi para Infiltran, para
Penjaga adalah pemelihara penjara, memperlambat laju evolusi demi stabilitas
dan status quo. Kaum yang kemudian oleh para Infiltran dijuluki sebagai
Sarvara. Anjing Penjaga.” Halaman 619.

Paragraf di atas seolah mengajak pembaca kembali ke pamahaman bahwa manusia berasal dari awal yang sama; semangat yang sama; mimpi yang sama. Hanya, cara mereka mewujudkannya yang berbeda. Bisa dikatakan semua manusia memimpikan perdamaian, tetapi untuk menebusnya mereka punya jalan yang berbeda. Kembali ke ajaran agama, menciptakan ruang dialog antarkelompok, pemerintahan otoriter, menjauh dari kehidupan duniawi adalah sedikit di antaranya.

Melalui buku ini, Dee seperti ingin mengingatkan bahwa orang yang kita anggap baik, adalah orang yang sama menyandang sifat jahat. Ya… kira-kira begitu banalnya. Setiap orang memanggul dua sisi berlainan dalam dirinya, paradoks dalam satu tubuh. Dan dengan begitu, ekstrimisme dalam konteks apapun, adalah tindakan melawan kodrat alam.

Nilai: 2.75/5

Judul: Inteligensi Embun Pagi

Penulis: Dee Lestari

Penerbit: PT. Bentang Pustaka

ISBN: 978-602-291-131-9

Cetakan: Pertama, Februari 2016

Jumlah halaman: xiv+710 halaman

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK