THOUGHT

Apa SJW itu? Sebuah Konter Argumen (Bagian 1)

social justice warrior women march

Kelewat menyederhanakan suatu hal itu bisa jadi masalah. Alih-alih menjelaskan persoalan dengan tepat, ia justru menciptakan blunder. Argumentasi yang cemerlang ada karena ada banyak hal yang sengaja disembunyikan. Dari situ, perlu kehati-hatian penikmat konten untuk merunut dan memikirkan ulang apa yang seseorang sampaikan.


Di suatu siang, jam istirahat kantor, saya iseng menyisir lini masa Twitter. Seorang teman membagikan sebuah video dengan caption ‘Menambah Khazanah Baru’ yang langsung saya buka tautannya. Sebuah video berjudul ‘Apa itu SJW?’ muncul lengkap dengan thumbnail muka si pembicara.

Saya mendengarkan menit pertama dengan seksama. Lalu melompat ke menit-menit selanjutnya secara acak untuk melihat adakah hal yang menarik dari khotbah 24 menit itu. Lelaki di video beberapa kali naik pitam dan mengucapkan kata-kata kasar. Karena penasaran dan supaya bisa memahami maksudnya, saya pun mengulangi menonton video itu dari awal.

Saya mengernyit. Mendengarkan orang berbicara selama itu dalam keadaan emosi tak bisa dibilang menyenangkan. Bila kamu penasaran soal videonya, cek link ini. Jangan lupa siapkan cemilan. Dengarkan sambil googling isu-isu yang diomongkan juga tak apa. Tapi yang pasti, kamu takkan betah terus-terusan melihat muka orang emosi memenuhi layarmu.

Tentang SJW

Hans David, pembuat video itu, menjelaskan bahwa Social Justice Warrior (SJW) awalnya berkonotasi positif. Mereka yang dilabel SJW berusaha berjuang melawan penindasan pada rakyat yang dilakukan oleh korporat, perusahaan atau pemerintah yang korup.

Namun, imaji SJW berubah negatif terutama beberapa tahun terakhir. Hans mengatakan perubahan ini sejalan dengan kemunculan aktivis (anak-anak alay atau mahasiswa baru) yang biasanya berideologi liberal, sosialis, anarkis, kekiri-kirian atau komunis. Mereka melihat media sosial sebagai jalan perlawanan baru, yang ia akui bukan hal yang salah, lamun justru mengubah aktivisme menjadi ajang onani intelektual. Apa yang diperjuangkan, ketidakadilan dan penindasan, sebatas dipakai untuk branding diri sebagai aktivis.

 

“derogatory, informal: A person who expresses or promotes socially progressive views.”

 

Di menit-menit selanjutnya, ‘Aa Hans dengan bersemangat menjelaskan apa saja ciri-ciri seorang SJW yang ia temui. Sesekali ia mengumpat dan menyebutkan nama yang ia tuduh sebagai SJW. Penjelasan ini sebetulnya tak bisa disebut salah kalau benar merujuk ke definisi Oxford Dictionary di atas. Akan tetapi, bagi saya melabel orang sebagai SJW tetap saja problematis karena:

Pertama, label adalah cara termudah untuk menyingkirkan orang dan idenya.

Label sebetulnya adalah cara menunjukkan seberapa seseorang berkuasa atas lawan bicaranya. Satu pihak yang lebih berkuasa akan leluasa menciptakan label bagi orang lain secara sepihak. Dengan label, pihak tersebut bisa menegaskan perbedaan si pemberi label dengan yang dilabeli. Perbedaan itulah yang kemudian menjadi pembenaran atas tindakan atau cara pandang terhadap yang dilabel.

Masalahnya, perbedaan yang digarisbawahi itu bersifat subjektif dan membingungkan. Label bisa saja diberikan atas dasar ketidaksukaan, yang membuat definisi atas label itu begitu fleksibel. Itu mengapa oposisi Jokowi suka melabel lelaki ceking itu dengan kafir, Cina, komunis, PKI dan sebagainya.

Sama halnya ketika kamu melabel seseorang SJW. Sebetulnya kamu sedang membenarkan ketidaksukaanmu pada SJW. Entah itu karena kejemawannya, kepalsuannya, atau simply ketidakpahamanmu pada apa yang ia sampaikan.

Poin yang terakhir ini yang riskan terjadi. Secara tidak sadar, label menyederhanakan persoalan dan mengaburkan makna sebenarnya. Lewat label SJW, sebetulnya kita diajak abai pada isu-isu penting yang mereka bahas. Mulai dari isu penggusuran, lingkungan, kesetaraan gender, dan banyak lainnya.

Yang sulit adalah ketika label disematkan oleh pihak-pihak yang berkuasa besar, seperti negara, korporat, dan publik figur. Di mana label yang mereka ciptakan sangat mudah untuk dipercayai dan diikuti orang lain. Karena mereka jugalah label nampak umum, logis, dan benar untuk disematkan.

Kedua, validasi sosial tak hanya milik SJW.

taking photo at concert as social validation

Mengabadikan momen penting untuk diunggah di media sosial bisa jadi cara memvalidasi diri.

Validasi sosial adalah satu di antara banyak faktor yang membuat Hans David menghalalkan perlawanan terhadap SJW. Akan tetapi bukankah validasi sosial memang tak bisa dipisahkan dari hidup kita sebagai individu?

Sebagai manusia yang hidup dengan manusia lainnya, kita memiliki naluri untuk mengikuti nilai dan aturan yang ada. Secara tidak sadar, kita bisa mengubah apa yang kita percayai supaya diterima kelompok yang lebih besar. Menariknya ini tak hanya berlaku pada standar moral saja, tetapi sampai pada hal-hal banal dalam hidup: cara berpakaian, menulis status di media sosial, bertandang ke café dan berfoto, memesan latte bergambar hati, sampai membuat video untuk diupload di YouTube.

Masing-masing orang cara sendiri supaya diakui. Semakin besar kemungkinan seseorang diakui oleh satu kelompok, semakin besar pula ia menuruti standar-standar yang dibutuhkan untuk diakui. Faktor tersebut lebih kuat daripada sekedar ikut-ikutan karena pengaruh orang lain. Dari situ kita perlu sadar bahwa validasi sosial berlaku pada individu dan kelompoknya. Ketika kita memilih tidak untuk memvalidasi satu pihak, otomatis ia bukan bagian dari kita. Selesai urusan.

Lantas, kenapa harus baper dengan cara validasi sosial orang lain?

Ketiga, adalah terlalu buru-buru ketika menyimpulkan aktivisme tidak berpengaruh pada apapun.

digital activism as social and political tool for people

Sampai saat ini, perdebatan mengenai dampak nyata aktivisme digital belum menemukan kata sepakat. Ada pihak-pihak yang bersikeras bahwa aktivisme digital tak berpengaruh banyak pada dunia nyata. Aktivisme digital dinilai memiliki muasal yang berbeda dari korporat dan negara. Sehingga derajat kuasa dan posisi tawar untuk mempengaruhi korporat, negara atau keduanya sulit mereka dapatkan (p. 141). Hingga tak pelak aktivisme digital kerap disebut sebagai slacktivism.

Namun, peran aktivisme digital dalam mengorganisasi aksi protes dan menggulingkan pemerintahan Hosni Mubarak di Mesir, menjadi bukti bahwa aktivisme digital tak bisa dipandang sebelah mata. Daripada terburu-buru menilai pengaruh satu aktivisme dalam penyelesaian masalah, kita perlu menyadari bahwa aktivis adalah satu dari sekian banyak aktor yang berkepentingan dalam satu isu. Berpengaruh atau tidaknya aktivisme perlu juga dilihat dari bagaimana ia berperan dalam dinamika suatu kasus.

Ia bisa saja berpengaruh langsung pada satu aktor. Bisa juga ia memegang peran strategis untuk menggandeng atau menekan aktor yang lebih kuat supaya sama-sama menekan aktor kunci (boomerang effect). Pengaruh aktivisme digital yang lain bisa juga diwujudkan dengan perannya menjaga agar media konvensional tidak digunakan sebagai alat propaganda pemerintah. Dengan begitu, aktivisme digital bertugas mendefinisikan isu dengan cara baru. Hal ini yang sering ‘SJW’ lakukan untuk mengusik rasa nyaman dan sukses membuat beberapa dari kita baper.

Tidak seperti keyakinan mereka yang skeptis dengan aktivisme digital, saya sendiri meyakini bahwa perbedaan model kuasa yang justru menjadi kekuatan. Lewat perbedaan itulah, aktor lain sulit melakukan tindakan preventif untuk membendung aktivisme. Aktivsime digital secara efektif bisa memotong hambatan geografis dan birokratis serta menjangkau dan mengajak audiens yang lebih luas. Belum lagi bagaimana aktivisme bisa merespons persoalan dalam waktu singkat.

Dalam penelitian yang saya kerjakan, aktivisme digital #BringBackOurGirls justru berpengaruh besar pada perubahan kebijakan di Nigeria. Aktivisme tersebut secara strategis menekan pemerintah dengan berbagai definisi isu supaya segera membebaskan sandera yang diculik Boko Haram. Di sisi lain, media tidak memiliki pengaruh signifikan karena terlalu sibuk memberitakan yang monumental saja dan terlalu nyinyir dengan aktivisme itu sendiri. (publikasi mengenai ini menyusul).

 

Tentu saja, saya tak bisa menampik adanya individu-individu yang sesuai dengan label SJW yang dijelaskan Hans David. Menyebalkan, tukang pamer, dan haus pengakuan. Tapi alih-alih melabel mereka, tempatkanlah mereka sebagai individu – yang memiliki beragam motif dalam melakukan aktivisme. Karena lagi-lagi, label mengaburkan isu-isu publik yang seharusnya memang kita bahas bersama. Pun, label mempersulit tugas aktivis lapangan yang masih membutuhkan dukungan publik agar isu-isu yang diperjuangkan diregulasi secara adil oleh pemerintah

Dunia ini penuh ide yang berbeda Tuan dan Puan! Kalau tidak setuju, pertanyakan idenya – bukan basmi orangnya. Di tulisan selanjutnya, saya akan membahas poin-poin menarik di video sepanjang 24 menit itu.

You may also like

3 Comments

  1. makasih ya sharingnya

  2. Kereeeeen bgt siiih!

    1. Iiiiiiih kakak kok keren juga siiiiih~

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in THOUGHT