Marni bergegas pergi dari rumah Paklik dan Buliknya. Tak sanggup lagi ia menahan bulir air mata dan perih tenggorokan yang mencekiknya. Bukan karena ia gagal membujuk Paklik membelikan entrok, membuatnya begitu. Melainkan cara Bulik menepis keinginannya, “Kalau mau punya, ya minta sama Bapakmu sana.”

Paklik dan Bulik sama-sama tahu, sudah bertahun-tahun Marni tak melihat bapaknya. Lelaki itu minggat, selepas puas memukuli Simbok yang sedang sakit panas dan tak lagi mampu melayaninya. “… Kalau sudah tahu bapak saja nggak punya, ya sudah. Nggak usah neko-neko. Bisa makan tiap hari saja sudah syukur”, tambahnya. (hal. 19)

Entrok adalah kisah seorang gadis kecil keras kepala yang terobsesi memiliki kutang. Ia tak bisa banyak berharap pada ibunya, seorang pengupas singkong yang juga dibayar singkong. Maka dari itu, ia bertekad mengumpulkan rupiah. Mulanya, ia sekedar ikut-ikutan mengupas singkong. Lalu ia nekat menjadi kuli angkut secara sembunyi-sembunyi. Setelah sebelumnya, Simbok melarang dengan alasan singkat: ora ilok.

Di sinilah, Okky Madasari dengan cerdas menyentil pakem peran perempuan dan laki-laki. Lewat sudut pandang Marni kecil, pertanyaan tajam mengkritik privilege yang dimiliki salah satunya. Kalau perempuan tak boleh nguli karena itu pekerjaan berat, lalu kenapa mengambil air berkilo-kilo jauhnya harus dilakukan perempuan?

Marni bisa saja mangkir dari ora ilok soal pekerjaan, tapi tak begitu halnya dalam urusan perjodohan. Meski sudah terang-terangan menolak ajakan Teja untuk menikah, tiga hari setelahnya ia terduduk di dapur bersama Simbok, Bulik dan istri Kamituwo. Dari sana, ia menerima takdirnya ditentukan oleh para lelaki di bagian depan rumah. Ia resmi menjadi istri Teja.

Sayangnya, itu bukan ora ilok terakhir yang harus Marni dihadapi. Setelah ia menjadi penjaja uang dan bisa membangun rumah megah, sumbangan harus secara rutin ia setor pada tentara dan pejabat. Sudah begitu hukumnya, sudah lumrah. Tak ada keringanan barang sedikit ketika usahanya sedang macet atau lesu. Sekali Marni berkelit, sebutan lintah darat kafir nyaring terdengar di telinganya. Bukan itu saja, dituduh PKI dan ancaman dipenjara tak pula ketinggalan.

Sebutan lintah darat kafir itulah yang membuat jarak antara Marni dan anaknya, Rahayu. Tak seperti Marni yang buta huruf dan menyembah leluhur, Rahayu bersekolah dan tentu saja belajar agama. Olok-olok guru agama dan teman-teman soal Marni, cukup menjadi alasan untuk Rahayu membenci ibunya sendiri. Tuhan sudah jelas membenci mereka yang tak tunduk padanya, jadi perlu alasan apalagi untuk tak membenci ibunya?

Alasan itu jugalah yang menggiring Rahayu menjauh dari rumah. Ia pergi ke Jogja, menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri bergengsi. Meski sebetulnya, lebih banyak waktu ia habiskan untuk mengikuti pengajian dibandingkan kuliah. Dari kajian-kajian itu ia memahami kelakuan tentara dan pejabat yang ia saksikan di kampung halamannya adalah kesewenang-wenangan. Mulai dari sanalah, ia memutuskan untuk membantu mereka yang tertindas.

Lalu apakah perbedaan jalan hidup dan pandangan masih akan menautkan hidup Marni dan Rahayu? Hampir pasti begitu, bila merujuk pada awal novel ini. Secara bergantian, penulis memainkan sudut pandang dua tokoh utama untuk melihat realitas di sekeliling mereka. Di mata Marni, tentara dan pejabat jauh dari imaji ideal pelindung dan pengayom masyarakat. Keduanya bagai lintah yang betul-betul menyedot darah Marni, alih-alih dirinya yang sering disebut lintah darat.

Sama dengan ibunya, Rahayu pun merasa demikian. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tentara tega menghabisi mereka yang teguh memperjuangkan haknya. Termasuk juga suaminya, yang ia temukan sudah bersimbah darah sehabis terdengar bunyi tembakan. Sebuah alasan emosional yang membuatnya bertahan melawan gerudukan tentara dalam sebuah proyek penggusuran terbesar pada masanya.

Kepiawaian Okky Madasari dalam memainkan sudut pandang tokohnya, membuat isu-isu yang disorot terasa lebih intim. Tak hanya mengisahkan bagaimana kuasa melindas mereka yang tak berpunya. Kita pun dibuat paham bahwa label-label politik sering kali seenak jidat disematkan pada siapa pun yang menolak patuh.

Lepas dari persoalan politik, penulis juga berhasil mereplika kondisi sosial masyarakat. Utamanya, soal bagaimana prasangka lebih banyak digunakan untuk merespons perbedaan. Dalam Entrok, bagian ini ditunjukkan ketika Marni terus-menerus dituduh sebagai seorang penganut pesugihan. Karena tak mungkin ada orang mlarat tiba-tiba bisa jadi juragan kan?

Di sisi lain, buku ini juga menjelaskan bagaimana sentimen terhadap keturunan Cina bisa muncul. Serta bagaimana sulitnya mereka menjalankan kepercayaannya di masa itu.

Bagi saya, membaca Entrok adalah sebuah pengalaman yang intens. Ia membuat saya masuk dalam sebuah tragedi dan berkali-kali membuat saya geram dan sakit hati. Hingga akhirnya menyadari, ini bukan sekedar fiksi– tetapi nukilan kisah dari mereka yang tak punya lagi suara untuk berbagi.

Nilai: 5/5

Judul: Entrok

Penulis: Okky Madasari

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

ISBN: 9789792255898

Cetakan: Pertama

Jumlah halaman: 288 + 20 halaman

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in BOOK