THOUGHT

Apa SJW itu? Sebuah Konter Argumen (Bagian 2)

social justice warrior woman protesting

 

Mas, di kampusmu banyak feminis ya?”

Aku tercekat. Selain karena pertanyaan datang begitu tiba-tiba, aku pun tak yakin si penanya paham betul apa yang ia sebut feminis. Sama halnya ketika beberapa tahun lalu, adikku dengan ketus menanggapi pembicaraan soal feminisme. Dulu, ia melekatkan feminis dengan sifat egois dan anti-kritik atau feminazi. Aku tahu, yang ia tahu soal feminisme sebatas dari lelucon di 9gag.

“Ya… Banyak. Sepengamatan di lingkaran pertemananku, lho”, jawabku.

Kusambung pembicaraan dengan kembali melempar tanya soal apa yang ada di kepalanya soal feminisme. Betul apa yang kuduga. Perempuan itu melekatkan imaji sok-artsy, keras kepala, dan sulit diajak berdialog pada yang ia sebut feminis. Imaji yang ia dapatkan setelah mengikuti sebuah diskusi di kampus.

Tak ingin apa yang kupelajari sia-sia, obrolan dilanjutkan dengan cerita-cerita feminisme. Hitung-hitung, menghindarkan satu orang dari sesat. Semoga, pikirku.


Label adalah proses yang tidak terhindarkan dalam berkomunikasi. Menyematkan label memudahkan kita menunjuk satu kelompok spesifik tanpa berulang kali menjelaskan maksudnya. Akan tetapi melabel tak sesederhana hanya menunjuk, tetapi juga mempertegas hubungan kuasa antara yang melabel dan dilabel.

Label kemudian menjadi bermasalah ketika tujuannya sebatas untuk menyingkirkan atau membungkam satu kelompok. Maka dari itu penting untuk kembali menurut kenapa sebuah label bisa tersemat pada satu pihak.

Tulisan ini, secara spesifik, ingin mengkonter klaim yang disampaikan Hans David soal SJW. Konter argumen bukan semata-mata berarti tak setuju, tetapi yang lebih penting, memberikan alternatif cara melihat persoalan. Karena di dunia di mana ide tersekat algoritma, cara melihat persoalan dengan cara berbeda harus sering-sering digaungkan.

Ini dia 12 hal yang diomongkan Hans David dalam videonya, yang perlu kita renungkan

1. Aktivisme media sosial tak mengubah apapun

Di awal videonya, Hand David dengan menggebu mengklaim bahwa membagikan informasi di media sosial takkan mengubah kenyataan di dunia nyata.

Poin ini sebetulnya sudah saya jelaskan di tulisan sebelumnya. Intinya, perlu kehati-hatian untuk menyimpulkan aktivisme media sosial berdampak di dunia nyata atau tidak. Karena bisa jadi, aktivisme tidak mengubah kenyataan secara langsung. Akan tetapi lebih bersifat sebagai pemantik atau penekan aktor lain hingga melakukan perubahan.

Kalau masih ingat, tahun 2016 lalu, Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy mewacanakan kebijakan full-day school. Wacana tersebut berbondong-bondong ditolak lewat petisi change.org, hingga akhirnya kebijakan tersebut dibatalkan. Itu salah satu yang berdampak langsung.

Toh, ketika lebih sering mengakses internet untuk mendapatkan informasi dan beropini, sekat dunia nyata dan maya tak lagi relevan. Algoritma media sosial juga tlah menggunakan fitur geo-location, supaya informasi yang sampai ke kita tetap relevan dengan sekitar.

2. SJW tidak bisa menerima lelucon

Secara spesifik, Aa’ Hans menunjuk bahwa SJW tak bisa menerima lelucon bernada seksis. Padahal, menurutnya, teman-temannya yang betul-betul aktivis bisa menerima. Lelucon hanyalah lelucon, tidak dimaksudkan untuk serius.

Tentu saja tak ada yang melarang Aa’ dan teman-teman aktivisnya bercanda dengan topik yang seksis. Silakan saja. Tapi tak harus pula menjustifikasi kelakuan itu dan menjadikan standar moral untuk semua kan?

Karena nyatanya, semakin seorang terpapar lelucon seksis semakin pula ia menganggap seksisme sebagai hal normal. Bahkan pada satu riset disebutkan bahwa lelaki yang terpapar lelucon seksisme memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memperkosa. 

3. Adult’s workers’ no list = homophobic and racist

Setiap orang yang bekerja untuk industri dewasa berhak memiliki daftar tolak (no list) dan saya setuju soal itu. Saya rasa hubungan seksual tak boleh dipaksakan. Perlu persetujuan dari kedua pihak yang melakukan. Kalau tidak namanya perkosaan. Maka dari itu tak ada masalah ketika bintang porno yang disebutkan Hans David menolak berhubungan dengan orang yang masuk dalam daftarnya. Artikel menarik soal kasus ini bisa di baca di Rolling Stone.

Hanya saja, argumen tersebut tetap tak bisa menampik betapa ambigu dan pretensiusnya tweet si bintang porno yang membuatnya dirundung.

4. SJW menganggap isunya paling penting

Ketika putusan soal kasus Ahok muncul, foto Ibu Veronica menangis memenuhi ruang-ruang media. Di saat genting itulah, Arman Dhani, nyinyir dan mempertanyakan perhatian kelas menengah untuk ibu-ibu Kendeng. Hal itu menjadi masalah bagi Hans, karena dengan begitu SJW memperjelas sifatnya yang egois dan merasa masalahnya paling penting.

kartini kendeng melawan semen

Sembilan petani Kendeng mengecor kaki dengan semen sebagai aksi tolak pabrik semen (14/4/2017).

Tanpa mendiskreditkan Teman Ahok, saya ingin menawarkan cara pandang lain soal klaim Hans. Tentu saja persoalan tahun 2016 itu penting, bahkan bagi saya itulah momen ketika keberagaman dan toleransi negara ini diuji. Namun, ada dua hal yang perlu diingat.

Pertama, Indonesia tak melulu soal Jakarta. Persoalan Jakarta sering kali mendominasi tajuk utama media-media massa. Padahal, belum tentu apa yang terjadi di sana relevan dan penting bagi daerah lain. Sehingga, nyinyir-nya Arman Dhani bisa jadi pengingat kalau Indonesia tak melulu soal Jakarta. Banyak masalah lain yang perlu disorot di daerah. Saya rasa nyinyir ke tangisan Bu Vero hanya kebetulan. Kalau toh ada peristiwa lain yang bisa membuat perhatian rakyat tertuju pada hal yang sama, nyinyir ala SJW itu pun kan terjadi.

Kedua, media massa sering kali terjebak untuk menampilkan sosok perempuan sebatas sebagai objek seksual, status pernikahan/hubungannya, individu yang pasif, dan penampilan fisiknya. Ketika kita menemukan berita tentang perempuan menangis, seperti kasus Bu Vero, kita perlu bertanya: betulkah ini sebuah upaya untuk menggalang simpati atau malah sebuah langkah (yang tidak sengaja) strategis untuk meningkatkan popularitas portal berita?

5. Romantisasi tragedi: Aksi Kamisan ke-500

Ketika Aksi Kamisan ke-500, Hans menemukan aktivis yang menulis caption “Oh, so beautiful” pada foto yang diunggah. Caption yang ia anggap sebagai sebuah romantisasi tragedi.

Tentu saya tak boleh dan tak bisa banyak berkomentar soal ini, karena tak ada data yang bisa dirujuk. Tetapi, bagaimana kalau kita bermain konter faktual saja? Bagaimana kalo ‘so beautiful’ yang dimaksud adalah komentar atas keharuan atas partisipasi aksi kamisan yang sudah berlangsung selama 500 kali? Bukankah memiliki orang yang mendukung di tengah dunia yang tak acuh, adalah sebuah keindahan?

6. SJW tak bisa memilih

Pada kasus penggusuran bantaran kali, Hans menyebutkan hanya ada dua pilihan: tinggal dengan konsekuensi kebanjiran setiap tahunnya atau menerima penggusuran untuk hidup yang lebih baik. Ia memilih alasan yang kedua dan menyerukan bahwasanya kita tidak bisa membiarkan saudara kita menderita dengan membiarkan mereka tinggal. Soal sulitnya mencari pekerjaan setelah tergusur, Hans dapat memahaminya, tetapi tetap kembali menyerukan: hidup adalah soal memilih.

Padahal ungkapan itu hanya pantas diucapkan pada mereka yang benar-benar bisa memilih. Dengan kata lain, orang mampu. Orang-orang yang terpinggirkan, mana mereka bisa memilih? Mereka terdesak oleh sistem yang membatasi pilihan-pilihan mereka. Hingga tak ada lagi pilihan yang tersisa, lalu dipaksa ‘memilih’.

Memaksa mereka untuk pindah dengan justifikasi ‘hidup soal memilih’ sama saja abai dengan dasar permasalahan yang terjadi. Bahwa mereka terdesak untuk hidup di sana. Bahwa kota adalah rimba yang jahat untuk mereka yang tak berharta. Justifikasi yang sama tak menawarkan solusi apapun untuk mengisi perut mereka di kemudian hari. Toh, beda ceritanya kalau penduduk di sana punya uang. Bangun hotel dan apartemen di pinggir kali, seperti di Jogja, juga boleh.

 

Bersambung.

You may also like

1 Comment

  1. Duh, makasih banget udah nulis begini. Seneng banget bisa ketemu tulisan “waras” di tengah belantara tulisan mainstream.

    Jadi rindu baca-baca kajian sebelum aksi hihi.

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in THOUGHT